KRITIK SASTRA KITA

Secara garis besar, kritik sastra dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kritik sastra umum dan kritik sastra akademis (ilmiah). Ciri yang membedakan keduanya terletak pada kejelasan metodologi dan kerangka teoretis yang digunakan, serta tujuan dan sasaran pembacanya. Esai-esai sastra yang ditulis di koran-koran atau majalah, misalnya, termasuklah ke dalam kategori kritik sastra umum. Dikatakan umum, karena ia lebih bersifat publik. Ia disampaikan untuk kalangan masyarakat luas yang sangat beragam tingkat apresiasinya. Meski sangat mungkin dalam esai itu ada tawaran konsep estetik, sebagaimana yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi esainya yang berjudul Isyarat (Magelang: Indonesia Tera, 2007), tujuan utamanya adalah untuk lebih menegaskan pertanggungjawaban estetik atas karya (: puisi) yang telah dihasilkannya. Jauh sebelum itu, sejumlah sastrawan Indonesia pernah melakukan itu. Sebut misalnya, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, atau kakak-beradik Sanusi dan Armijn Pane. Mereka menawarkan konsep puisi (baru) yang berbeda dengan pantun dan syair. Chairil Anwar lebih tegas menyebutkan pentingnya penggalian kata –sampai ke tulang sumsum—bagi penyair untuk menghasilkan puisi. Bahwa belakangan ini, membanjir esai sastra yang didominasi oleh obrolan yang terkesan canggih, namun boleh jadi sulit dipahami –lantaran salah nalar— juga termasuk kategori kritik sastra umum. Siapa pun, dengan tingkat pendidikan, wawasan dan apresiasi bagaimanapun, berhak untuk menulis kritik jenis ini. Apa pun macam tulisannya, sah dan boleh-boleh saja. Tidak ada otoritas tertentu untuk melarangnya. Jadi, siapa pun, dengan latar belakang pendidikan sastra atau tidak, berkerja sebagai dosen atau guru sastra, sastrawan atau bukan, bahkan dengan profesi yang tidak ada kaitannya dengan sastra, boleh saja menulis kritik sastra. Meski begitu, perlulah dicamkan bahwa kritik bukan caci-maki dan hujatan. Bagaimanapun, hakikat kritik adalah penilaian, dan penilaian pada hakikatnya adalah apresiasi, penghargaan. Jadi, bagaimana mungkin dalam hujatan dan caci-maki ada niatan memberi apresiasi? Di samping itu, kritik juga bukanlah sekadar omongan melantur tak tentu juntrungannya. Menulis kritik hakikatnya menyampaikan apresiasi; penghargaan dan pengungkapan nilai. Fungsinya tidak sekadar menjembatani gagasan pengarang, lewat teks, kepada pemba¬ca, tetapi juga memberi semacam panduan, keterangan tambahan, dan pengungkapan kekayaan teks yang mungkin belum tergali. Dengan demikian, kritik sastra seyogianya disampaikan secara jernih, sejuk, bernalar, dan dengan tetap memberi rangsangan. Ia juga mestinya meneroka kedalaman teks dengan berbagai kemungkinan dan prespektifnya. Esai Seno Gumira Adjidarma, “Cerpen atau Cermin” yang coba membincangkan antologi cerpen Tukang Bunga dan Burung Gagak, Sabtu, 13 Maret 2010, adalah contoh, bagaimana Seno lebih memilih menyampaikan apresiasi daripada mengorek jauh kekurangan (dan kelebihan) cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi itu. Padahal, Seno tentu saja sudah sangat tahu, bagaimana cerpen-cerpen itu dianalisis secara tajam, bahkan sampai “dipereteli” sekalipun. Esai Seno mengingatkan saya pada sikap yang diperlihatkan sosok H.B. Jassin dalam esai-esainya. *** Setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya, dapat bertindak sebagai ‘kritikus’ jika ia menuliskan tanggapan terhadapnya. Jika tanggapan itu sekadar sebuah bentuk parafrase, pandangan sekilas atau apresiasi, tanpa perlu memikirkan landasan teoretis, ia dapat dikatakan seba¬gai kritik sastra umum. Dalam kritik sastra jenis ini, sememangnya kerangka teoretis dan metodologi ilmiah, sangat mungkin tidak lagi dipen¬tingkan. Artinya pemahaman tentang teori sastra dan kriteria yang diberlakukan dalam kritik ilmiah, terpaksa ditanggalkan, meski boleh saja tidak ditinggalkan sama sekali. Kalaupun digunakan, ia mesti disampaikan dengan bahasa yang sederhana. Esai-esai H.B. Jassin yang kemudian dibukukan dalam Kesusas¬traan Indonesia dalam Kritik dan Esei, termasuk jenis kritik ini. Jassin, paham akan teori sastra dan metodologi ilmiah. Namun, ia terpaksa menyederhanakan pemahamannya mengenai itu, lantaran ia menulis untuk media massa yang dibaca masyarakat luas dengan tingkat apresiasi sastra yang sangat beragam. Dengan cara itu, penekanannya terletak pada kritik yang apresiatif. Ia mengenalkan karya dan pengarangnya, menempatkan pengarangnya dalam kotak perjalanan sejarahnya, menjelaskan teksnya, dan memberi panduan cara pemahamannya. Pembaca umum terangsang untuk membaca karyanya, mencoba memahami isinya, kekayaan–kedalamannya, dan akhirnya memberikan apresiasinya. Bagi pengarangnya, kritik Jassin, tentu saja tidak sekadar memberi rangsangan untuk menulis karya yang lebih baik, tetapi juga memberi masukan, bagaimana seyogianya struktur formal karya sastra dibangun, disusun penyiasatannya, dan disembunyikan amanatnya Apresiasi sastra yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan beberapa penulis lain di majalah Horison atau Saini KM di surat kabar Pikiran Rakyat, juga sejenis dengan esai-esai Jassin. Mereka menulis dengan penekanan pada nilai yang terkandung dalam karya, dan nilai itu diungkapkannya dengan sederhana. Akibatnya, kita tidak hanya disajikan sebuah nilai dalam karya sastra, namun juga dibawa untuk memahami secara sepatutnya, dan diajak untuk membaca karya lain yang mungkin punya nilai sejenis. Itulah kritik sastra umum yang sehat dan menyehatkan kehidupan kesusastraan *** Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian. Mengingat syarat keilmiahan tidak dapat diabaikan, maka kritik ilmiah harus jelas kerangka teoretisnya; ia merupakan alat yang digunakan untuk mengungkapkan nilai. Selain itu, jelas pula metodologinya; cara dan pendekatan yang diterapkan untuk itu. Lalu, mengapa mesti demikian dan apa perlunya? Jawaban pertanyaan itulah yang membedakan kritik umum dengan kritik ilmiah. Pertama, tujuan kritik ilmiah bukanlah sekadar sebuah apresiasi; penghargaan atas nilai sebuah karya dan sekaligus pengakuan atas peran profesional sastrawan, namun juga pengungkapan nilai itu lewat prespektif keilmuan. Dalam hal ini, karya sastra ditempatkan tak hanya sebagai sebuah teks yang dapat memberi kenikmatan estetis, tetapi juga dapat menggugah rasa kemanusiaan dan menyadarkan emosi dan nurani kita akan berbagai persoa¬lan kehidupan manusia. Artinya, analisisnya coba mengungkapkan makna universal atas karya yang bersangkutan. Di sinilah dunia dalam karya itu coba ditarik konteksnya pada dunia real yang berlaku dalam kehidupan manusia. Kedua, untuk tujuan keilmuan, kritik ilmiah tentu saja diperlukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam disiplin ilmu apa pun, hal itu diperlukan agar perkembangan ilmu pengetahuan tidak mandek. Jadi, lewat kritik ilmiah itulah, makna baru atas karya sastra memungkinkan muncul kembali dengan prespektif yang juga baru. Dengan demikian, teori sastra akan terus lahir dan berkem¬bang sampai entah kapan. Pada gilirannya, pembicaraan mengenai teori sastra membentuk disiplin tersendiri. Perkembangan teori dan kritik sastra dari formalisme, strukturalisme hingga kritik sosio-kultural, termasuk pendekatan multi-disiplin, misalnya, justru di¬mungkinkan oleh adanya perdebatan kritik ilmiah. Tanpa itu, ilmu sastra dan dunia sastra secara keseluruhan, mustahil sampai ke tahap seperti yang sekarang ini. Ketiga, mengingat tingkat apresiasi dan pemahaman masyarakat atas karya sastra, sangat beragam, yang juga ditentukan oleh pendidikan dan wawasan pengetahuannya, maka dalam keadaan tertentu, tidak jarang pula terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan. Peristiwa tahun 1960-an, merupakan contoh, betapa kesusastraan kita telah terjerumus ke dalam suasana yang tidak sehat. Dalam kondisi itulah, kritik ilmiah diharapkan mampu menjadi panduan dan petunjuk yang dapat memberi jalan ke arah penye¬hatan kembali kehidupan kesusastraan. Diadakannya Simposium Bahasa dan Sastra Indonesia, 27 Oktober 1966 dan akhir Oktober 1968, merupakan contoh peran dan pentingnya kritik sastra itu. *** Begitulah, kritik ilmiah berkembang lewat jalurnya sendiri. Kritik umum juga demikian. Cuma, terjadinya kengawuran dalam kritik umum, berdampak sangat luas. Gonjang-ganjing kebingungan akan melanda banyak pihak. Sastrawan tidak tahu lagi di mana kelebihan atau kelemahan karya yang telah dihasilkannya; pembaca umum dan guru-guru sastra, juga akan makin menjauhi dunia sastra, dan kalangan akademis pun jadi bertanya-tanya: apa maksud? Jadi, kembalikanlah kritik sastra (sebagai kritik umum atau kritik akademis) pada haki¬katnya! Dan siapa pun yang hendak menjadi kritikus (sastra), jadilah kritikus yang baik yang niat dan semangatnya memberi penghargaan.*** Dari www.surahsastra.com/tentang-kritik-sastra-kita/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMEKARANG PROVINSI PAPUA TENGAH "Laporan terakhir ada 288 usulan baru. Termasuk provinsi PAPUA TENGAH

MENGAPA ANDA MENIKA

PENDIDIKAN FUNDA MENTALITAS