Adat suku mee

Pada hari ini Minggu (10/05) jam 12 : 00 WIT, setelah pulang dari ibadah, saya mengunjungi Asrama Pemda Kabupaten Paniai, yang terletak dijalan perumnas III, Waena, Kota Jayapura. Tujuan kali ini saya ingin bertemu dengan adik Demianus Gobai, seperti biasanya kami saling sapa satu sama lain, sambil bercanda gurau hingga berdiskusi apa adanya. Siang ini kami mendiskusikan beberapa pesan orangtua dulu, tentang nilai kehidupan, kami menggali istilah nilai-nilai adat suku Mee, Papua dulu. Orangtua dulu sering memberikan pesan (nasihat) yang baik kepada anak-anak mereka yang hendak pergi ke kota untuk menuntut ilmu (sekolah) atau dengan tujuan lain entah itu mencari kerja dan lain sebagainya. Pesan yang terutama dan utama sering kita dengar keluar dari mulut orangtua dulu adalah “Koti Duamakai”, istilah ini atau kalimat ini mempunyai makna yang besar bagi yang mendengar. Rupahnya sebagian adik-adik di asrama mengerti istilah ini, karena orangtua mereka perna menasihati akan hal tersebut. “Koti Duamakai” menjadi masalah terkini bagi generasi suku Mee. Istilah ini sendiri saya perna mendengar sendiri dari orangtua di kampung kecil Odiyai (timur kota Enarotli) saat saya mengunjungi tempat kelahiran bapak saya. Tetapi kalimat ini hanya sepintas saja saya dengar namun saya baru memahami bahwa makna dari “Koti Duamakai”, sangat besar kini. “Koti Duamakai”, mempunyai pengertian simpan dulu (taruh dulu) kemaluanmu sebelum kamu pergi menuntut ilmu di kota, setelah tujuanmu tercapai barulah datang ambil lagi kemaluanmu. “Koti Duamakai”, mempunyai pengertian kalian punya kemaluan itu potong dulu baru jalan menuntun ilmu di sekolah nanti baru ambil (pasang) lagi. “Koti Duamakai”, mempunyai pengertian jangan dulu menunjukan kemaluanmu kepada wanita. Tujuan akhir dari “Koti Duamakai” adalah kejar dulu pendidikanmu, gapai dulu cita-citamu tunjukan ijaza kepada Orangtua, sana saudara, tetangga, apa yang kamu cari di kota itu bahwa telah saya gapai di tangan. Orangtua dulu memili nasihat dalam bahasa kiasan yang mempunyai arti yang luas sering di bagikan kepada anak-anak muda di rumah laki-laki (yameowa). Pandangan saya sendiri tentang “Koti Duamakai” merupakan istilah yang sakrak, mengandung nilai pendidikan dan religius sehingga pesan yang disampaikan ini bisa menjadi motivasi bagi yang dinasihati. Dalam diskusi dengan topik “Koti Duamakai”,adik Yatipai, dari dusun Duma-dama menyampaikan sedikit mengenai istilah ini. Katanya, “Orangtua di kampung banyak menasihati kita dengan “Koti Duamakai”, atau Mee Magii tou” (tidak melakukan zinah) bila datang ke kota untuk belajar, atau merantau”. Dengan serius, ia menyampaikan, “Harus apa yang menjadi pergumulan ini, kita genggam barulah kita mengenal perempuan lebih jauh lagi”, ungkapnya. Tambahnya lagi, “tapi sekarang semuanya sudah berubah bagi anak suku Mee, istilah-istilah seperti ini di abaikan, akhirnya, mereka mengenal perempuan (mee magii) di hotel, kos-kosan, tempat-tempat sepih, karena sekarang uang sudah banyak di masyarakat, bisa beli motor, bisa sewa mobil rental, bisa sewaa hotel untuk bermalam dengan perempuan”. Jatipai ini menyimpulkan bahwa, “Akibatnya, mereka sekolah/kuliah lama, ada yang tidak melanjutkan sekolah/kuliah karena perempuan hamil, ada yang kena penyakit (IMS/HIV), dan kena gangguan dari alam, ungkapnya. Pada desember 2012, pertama kali saya menginjakan kaki di kota tua Paniai, saya baru rasakan cuaca dingin disana, maklum saya dilahirkan dan di besarkan oleh orangtu saya di kota Jayapura. Pertama kali yang ada di benak pikiran saya adalah inilah kota dimana orangtua saya di lahirkan dengan karakter tersendiri sebagai orang suku Mee dan mereka sangat bersahabat, berbaur akrab dengan suku Moni. Saat kami tiba di kampung, sosok Kepuge Magai terlihat dari kejauhan, Orangtua dari Kampung Odiyai itu terpaku dengan tatapannya tajam kepada sosok muda yang baru pertama datang di kampungnya, rupanya saya di sambut dengan air mata dan pelukan hangat dari sosok orangtua itu. Setelah kakak saya, Fransiskus Xaverius Magai, menjelaskan kepadanya bahwa ini Paskalis, orangtua itu merasa bahagia, nampak pipinya yang keriput tersenyum. Yameeowaa merupakan tempat bagi para lelaki untuk duduk dan berdiskusi serta istirahat, Kepuge Magai pun mengajak saya ke Yameowaa miliknya, disitu tempat yang khas. Saya merupakan tamu terhormat baginya. Orangtua (adama) ini bisa menyesuaikan diri dengan berbagai bahasa yang iya kuasai, baik Bahasa indonesia, bahasa Suku Mee dan Bahasa Suku Moni. Adama ini menyapa saya dengan bahasa indonesia versinya sendiri, apakabar?, kamu sudah sekolah selesai kah?, sudah menikah? Dan pertanyaan berbobot lainya. Sepintas saya membayangkan orangtua kandung saya dulu (pass away), yang tipikalnya sama dengan Kepuge Magai ini, yaitu suka banyak bertanya dan banyak menasihati. Maklum saja bahwa Kepuge Magai merupakan kakak kandung dari bapak saya, jadi Kepuge Magai dalam sapaan sehari-hari saya memanggilnya Bapaktua (bapak punya kakak). Yameowa sangat sakrak karena didalamnya tersimpan benda-benda tertentu dan para laki-laki muda dan orang dewasa mengadakan aktivitas mereka yang baik. Asrama putra milik Pemda Kabupaten Paniai bisa disebut juga sebagai yameowaa, karena didalamnya bernaung (hidup) para lelaki dan Yameowaa ini menghimpun anak-anak suku Mee dari berbagai kampung dan distrik yang berbeda tetapi hanya mempunyai satu tujuan yaitu bersekolah. Kepuge Magai mendominasi hari-hari saya di kampung kecil itu, nasihat demi nasihat mengalir terus deras bagaikan sungai Weyaa (bermuara ke danau paniai) diutarakan. “Koti Duamakai”, sepenggal di jelaskan dengan bahasa indonesia bercampuran bahasa suku Mee. Saya menyimak dengan indra mata dan telingah secara fokus.Tetapi banyak sekali pertanyaan balik yang keluar dari dalam diri, hingga kini. Saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah setiap orangtua Mee menasihati anaknya dengan kalimat “Koti Duamakai”atau tidak? Anak-anak di Asrama (Yameowa) masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pemersatu (suku Mee). Tetapi tentunya pola hidup di kota mempengaruhi pikiran mereka, kali ini mereka mulai di bentuk dengan lingkungan sosial yang baru bersama suku Papua lainnya hingga para pendatang. Jadi saya berfikir begini, ketika saya di kampung odiyai, saya di pengaruhi oleh Bapaktua Kepuge Magai dengan berbagai nasihat, ia memahami bahwa saya tidak tahu apa-apa dengan budaya suku Mee. Pun juga bagi Anak-anak (suku Mee) yang mengenyam pendidikan di kota dan tinggal di Asrama kota studi Jayapura, tentunya lingkungan sosial yang baru mempengaruhi mereka. Intinya, nilai-nilai luhur ini seperti “Koti Duamakai”apakah tetap menjadi salah satu nilai yang sakral bagi suku Mee? Pertanyaan ini patut kita jawab sendiri di hati sanubari kita sendiri. Rupahnya kamar milik adik demianus ini, banyak kunjungan, saya tidak tahu apakah karena diskusi ini dengan topik “Koti Duamakai”menjadi high issue, atau karena ada gorengan serta minuman teh sebagai penyemangat diskusi ini. Tetapi ini namanya Yameeowa, dimana kamar yang dikunjungi mempunyai taggung jawab sendiri atau sering juga bersama-sama dalam menghadirkan hidangan apa adanya. Iklan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMEKARANG PROVINSI PAPUA TENGAH "Laporan terakhir ada 288 usulan baru. Termasuk provinsi PAPUA TENGAH

MENGAPA ANDA MENIKA

PENDIDIKAN FUNDA MENTALITAS